17
agustus 1945, bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta (sekarang Jalan
Proklamasi No. 56), tampak secarik kain berwarna Merah-Putih berukuran 2 x 3
meter yang berkibar dengan bebas sebebas rakyat indonesia yang memadati jalan
tersebut.
Karena
pada hari itulah kemerdekaan Bangsa Indonesia di umumkan, secarik kain itulah
yang kini disebut sebagai Bendera Pusaka
(sekarang bendera tersebut mengkerut menjadi berukuran 196 x 274 sentimeter).
Bendera
yang telah dibuat setahun sebelum Proklamasi ini sudah beberapa kali dikibarkan
pada tiang yang sama, dikarenakan balatentara Jepang ketika itu mulai
mengizinkan bendera Merah-Putih dikibarkan berdampingan dengan bendera
kebangsaan Jepang, pada hari – hari besar yang ditentukan oleh Jepang.
Bendera
yang dibuat dan dijahit sendiri oleh Fatmawati, Istri Bung Karno, ketika
keluarga itu baru kembali dari tempat pengasingan di Bengkulu, dan baru mulai
tinggal di Jakarta. Shimizu, seorang perwira Jepang yang menjabat sebagai
kepala barisan propaganda di Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan
Sumatera), berkata : “bikin bendera yang paling besar ya!”
Permintaan
Shimizu untuk membuat bendera Merah-Putih yang besar itu, sesungguhnya sesuai
dengan “janji kemerdekaan” yang telah dinyatakan Jepang secara terbuka pada
September 1944, dimana rakyat di izinkan mengibarkan bendera Merah-Putih
berdampingan dengan bendera Jepang pada hari – hari besar.
Untuk
mendapatkan cita atau bahan kain untuk membuat bendera besar yang yang pantas
dikibarkan di halaman luas rumah besar Pegangsaan Cikini tersebut cukup sulit
selama pendudukan Jepang. Rakyat Indonesia bahkan menggunakan pakaian yang
dibuat dari bahan karung atau goni, disebabkan kelangkaan tekstil pada masa
itu.
Shimizu
lalu memerintahkan seorang Perwira Jepang untuk mengambil kain merah dan putih
secukupnya, untuk diberikan kepada Ibu Fatmawati. Dua blok kain merah dan putih
dari katun halus itu setara dengan jenis primissima untuk batik tulis halus
yang diperoleh dari sebuah gudang di Jalan Pintu Air Jakarta Pusat, yang
kemudian diantarkan oleh Chaerul Shaleh ke Pegangsaan.
Peran
Ibu Fatmawati yang ketika itu berusia 22 tahun yang mampu melunakkan hati para
Perwira Jepang, merupakan modal penting dalam mendampingi perjuangan Bung
Karno.
Ketika
membuat bendera besar itu, Ibu Fatmawati sedang hamil tua mengandung bayinya
yang pertama. “menjelang kelahiran Guntur, disaat usia kandungan mencukupi
bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah-Putih itu.” Ujar Ibu
Fatmawati. Dikarenakan kondisi fisiknya, dan juga karena ukuran bendera yang
besar, pekerjaan tersebut baru selesai dalam dua hari.
“Berulang
kali saya menumpahkan air mata diatas bendera yang sedang saya saya jahit itu.”
Kenang Ibu Fatmawati, titik-titik airmata beliau yang tumpah pada bendera
pusaka itu, lalu terajut kedalam benang-benang katun halus itu, merupakan
sumbangan seorang perempuan Indonesia kepada Bangsanya.
Ibu
Fatmawati mungkin tidak penah menduga bahwa bendera yang dijahitnya pada akhir
tahun 1944 itu, ketika ia berumur 22 tahun, kelak mengukir sejarah dan menjadi
pusaka bagi bangsa Indonesia.
Setiap
hari sejak Proklamasi Kemerdekaan, Sang Merah-Putih hasil jahitan Ibu Fatmawati
itu selalu dikibarkan di pekarangan rumah Presiden Soekarno di Jalan pegangsaan
Timur 56. hujan kehujanan, panas kepanasan.
Pada
tanggal 3 Januari 1946, ujian berat dihadapi Republik Indonesia, dikarenakan
pasukan sekutu yang dikirim ke Indonesia, ternyata disusupi oleh Pasukan
Belanda. Belanda kembali melncarkan agresi militernya, dikarenakan Pemerintah
Hindia Belanda tidak mengakui Kemerdekaan dan Kedaulatan Republik Indonesia.
Pengumuman
Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 4 Januari 1946 berbunyi : “Berhubung
dengan keadaan di Kota Jakarta pada dewasa ini, Pemerintah Republik Indonesia
menganggap perlu akan Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan di luar Jakarta.
Oleh sebab itu sejak kemarin Presiden dan Wakil Presiden telah berangkat ke
tempat kedudukannya yang baru di Yogyakarta.
Pada
4 Januari 1946 pagi, rombongan Presiden dan Wakil Presiden tiba di Yogyakarta,
keluarga Presiden Soekarno diantar ke Gedung Agung di ujung jalan Malioboro.
Sedangkan keluarga Wakil Presiden Mohammad Hatta diantar ke sebuah rumah yang
telah disediakan di sebelah utara Gedung Agung (sekarang menjadi Markas Korem
072/Pamungkas). Para Menteri tersebar di berbagai rumah penduduk.
Bendera
Merah-Putih yang dibawa dari Pegangsaan Timur pun kemudian dikibarkan setiap
hari di depan Gedung Agung. Berbeda dengan tiang kecil di Pegangsaan Timur,
tiang bendera besar dan tinggi di depan Gedung Agung tampak lebih sepadan untuk
bendera berukuran 2 x 3 meter itu.
Agresi
Belanda terus dilancarkan untuk menekan Pemerintah Republik Indonesia, yang
mana serangan terbesar terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, sejak subuh pada
hari Minggu itu Belanda menggempur Yogyakarta dengan tembakan mitraliur dari
pesawat-pesawat terbang P-51 yang melintas rendah di atas Kota.
Yogyakarta
akhirnya jatuh. Presiden, Wakil Presiden, dan pemimpin-pemimpin besar yang lain
ditawan. Foto Bung Karno memegang bendera Merah-Putih ketika hendak naik ke jip
tentara Belanda di sebarluaskan oleh pihak Belanda, untuk mematahkan semangat
perjuangan Bangsa Indonesia.
Bung
Karno sempat melakukan aksi penyelamatan terhadap bendera Merah-Putih yang
selama itu telah berkibar di Gedung Agung, yaitu bendera yang pada tahun 1944
dijahit oleh Ibu Fatmawati. Ia memanggil Husein Mutahar, Ajudan Presiden, dan
menyerahkan bendera itu dengan amanat untuk menyelamatkannya. Bendera itu mempunyai nilai sejarah karena dikibarkan
pada saat Proklamasi Kemerdekaan.
Bung Karno mengatakan kepada Mutahar. “Aku tidak tahu apa
yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini aku memberi tugas kepadamu untuk
menjaga bendera ini dengan nyawamu. Bendera ini tidak boleh jatuh ketangan musuh.
Disatu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikan kepadaku sendiri
dan tidak kepada siapapun, kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya
umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini,
percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkan kepadaku
sebagaimana engkau harus mengerjakannya.”
Dalam keadaan genting, Mutahar tidak bisa berpikir
terlalu panjang untuk melaksanakan tugas penyelamatan bendera yang diterimanya
dari Presiden Soekarno. Karena menganggap resikonya terlalu tinggi untuk
mengungsi dibawah Agresi Belanda dengan membawa Bendera Merah-Putih, maka
Mutahar kemudian membuka jahitan bendera itu. Rencananya, kain merah dan kain
putih dari bendera itu akan dipisah tempat penyimpanannya. Dalam benaknya,
Mutahar berpikir bahwa selama ia menjadi dua carik kain, maka ia tidak dapat
disebut Bendera, sehingga kecil kemungkinan dirampas Belanda.
Dengan bantuan Ibu Pernadinata, senang jahitan itu
dibuka, sehingga kedua carik kain merah dan putih itu terpisah. Mutahar
meletakkannya masing-masing carik kain pada bagian dasar dua tas yang kemudian
diisinya penuh dengan pakaian dan kelengkapan pribadi lainnya. Siap untuk
dibawa mengungsi.
Setelah Presiden dan Wakil presiden ditangkap, lalu
diterbangkan ke Sumatera, giliran Mutahar dan Staf Presiden lainnya yang
tertangkap. Mereka dibawa kelapangan udara Maguwo, dan kemudian diterbangkan
dengan pesawat Dakota ke Semarang. Di Kota itu mereka semua menjadi tahanan
Belanda. Mutahar berhasil
melarikan diri ke Jakarta, setelah hukumannya diringankan menjadi tahanan Kota.
Di Jakarta, Mutahar selalu mencari informasi tentang
keberadaan Bung Karno yang ketika itu sudah diasingkan Belanda ke rumah
pengasingan di Mentok, Pulau Bangka. Mengingat bahwa Bendera sebagai Lambang Negara dan juga kondisi sudah mulai
tenang, bendera yang mempunyai nilai sejarah tinggi harus selalu berada di
dekat Presiden Soekarno.
Mutahar kemudian meminjam mesin jahit milik seorang
Dokter untuk menyatukan dua carik kain merah dan putih kembali menjadi bendera,
setelah menerima surat pribadi dari Presiden Soekarno yang dibawa oleh Sudjono,
yang mana isi surat tersebut untuk di bawa ke Mentok.
Penjahitan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk
mengembalikan bendera ke bentuk aslinya. Setelah bendera berhasil disatukan,
lalu dibungkus dengan kertaas Koran untuk menyamarkannya, dan diserahkan kepada
Sudjono. (kelak pada Tahun 1961, Husein Mutahar menerima Anugrah Bintang
Mahaputera yang disematkan sendiri oleh Presiden Soekarno, atas jasanya menyelematkan
bendera itu.)
Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno, Wakil
Presiden Mohammad Hatta, beserta beberapa pemimpin Republik Indonesia tiba
kembali dari pengasingan di Yogyakarta. Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 17
Agustus 1949, bendera bersejarah itu dikibarkan kembali didepan Gedung Agung
untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke empat.
Nilai sejarah bendera Merah-Putih yang dikibarkan pada
Proklamasi Kemerdekaan mulai tampak jelas pada saat Bung Karno menempatkannya
dalam sebuah peti berukir, dan membawanya kembali ke Jakarta. Dalam foto
documenter terlihat bagaimana bendera itu dibawa turun keluar dari Pesawat
Garuda Indonesian Airways dengan upacara khidmat pada sore hari 28 Desember
1949 itu.
Rombongan Presiden Soekarno di elu-elukan Masyarakat
sepanjang perjalanan dari lapangan udara Kemayoran hingga Istana Koningsplein
yang waktu itu disebut sebagai Istana Gambir. “Merdeka! Merdeka!” pekik rakyat
di sepanjang jalan. Pada waktu itulah Bung Karno kemudian mengganti nama Gambir
menjadi Istana Merdeka, termasuk yang berada disekitar Istana juga dinamai
merdeka, Medan merdeka, dan Masjid Istiqlal yang dibangun kemudian (Istiqlal
berarti Merdeka).
Sejak tahun 1958, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
40 tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, Bendera
Merah-Putih yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56,
Jakarta, di tetapkan sebagai Bendera
Pusaka.
Sejak kembali ke Jakarta, Bendera Pusaka dikibarkan
setiap tahun pada detik – detik Proklamasi di Istana Merdeka.
Bendera Pusaka masih dikibarkan sekali lagi di Istana
Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1968. artinya, hanya dua kali dikibarkan dalam
pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1969 di buatkan duplikat Bendera Pusaka dari
bahan Sutera Alam.
Semula, Duplikat Bendera Pusaka direncanakan dibuat dari
Sutera alam dengan seratus persen bahan dari Indonesia, termasuk zat pewarna
alami dan tenun dengan tangan tanpa sambungan, sehingga warna merah dan putih
menyatu tanpa dijahit. Tetapi, karena akan di bagikan keseluruh provinsi, dan
berhubung waktunya sudah mendesak, maka pembuatan Duplikat Bendera Pusaka itu
terpaksa dibuat di pabrik PT.Ratna di Bogor, di bawah penyeliaan Balai
Penelitian Tekstil Bandung.
Pada 5 Agustus 1969, Presiden Soeharto menyerahkan
Duplikat Bendera Pusaka dan Duplikat Naskah Proklamasi kepada para Gubernur
seluruh Provinsi di Indonesia, untuk di pergunakan di daerah masing – masing
pada Upacara Hari Proklamasi Kemerdekaan, dengan demikian, Bendera Pusaka tidak
lagi dikibarkan, serta kemudian dilestarikan sebagai Pusaka Bangsa yang tidak
ternilai.
Sekarang Bendera Pusaka di istirahatkan di salah satu
ruang khusus di Istana Merdeka. Sebuah rencana kini tengah disiapkan untuk
menempatkan Bendera Pusaka dalam sebuah ruang khusus di dalam Monumen Nasional.
Dengan demikian, Bendera Pusaka akan memasuki masa
“pensiun total”, ia bahkan tidak lagi bertugas mengiringi pengibaran sang
Merah-Putih tiap 17 Agustus di Istana Merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar