TAHUN 1946
Menjelang
peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, Presiden Soekarno memanggil salah satu ajudannya,
Mayor. Hussein Mutahar dan memberi tugas untuk mempersiapkan
dan memimpin Upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Presiden
Gedung Agung Yogyakarta.
Hussein
Mutahar memiliki pemikiran bahwa untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa, maka
pengibaran bendera sebaiknya dilakukan oleh para pemuda se-Indonesia. Kemudian
beliau menunjuk 5 orang pemuda (3 putri dan 2 putra) perwakilan daerah yang ada
di Yogyakarta.
Lima orang adalah simbol dari
Pancasila. Pengibaran Bendera Pusaka
pada Upacara Proklamasi Kemerdekaan RI ditangani oleh Hussein Mutahar. Jumlah pengibar sebanyak 5 orang pemuda.
Secara bergiliran menampilkan para
pemuda dari daerah-daerah Indonesia lainnya.
TAHUN 1947-1948
Pengibaran Bendera Pusaka pada Upacara Proklamasi
Kemerdekaan RI ditangani oleh Hussein Mutahar. Jumlah pengibar sebanyak 5 orang pemuda.
Secara bergiliran menampilkan para
pemuda dari daerah-daerah Indonesia lainnya.
TAHUN 1950-1966
Sekembalinya ibukota Republik Indonesia ke Jakarta, mulai tahun
1950 pengibaran bendera pusaka dilaksanakan di Istana Merdeka Jakarta.
Regu-regu pengibar dibentuk dan diatur oleh Rumah Tangga Kepresidenan Rl sampai
tahun 1966. Para pengibar bendera itu memang para pemuda, tapi belum mewakili
apa yang ada dalam pikiran Mutahar.
TAHUN 1967 - 1972
Tahun 1967, Husain Mutahar kembali dipanggil Presiden Soeharto
untuk dimintai pendapat dan menangani masalah pengibaran bendera pusaka. Ajakan
itu, bagi Mutahar seperti "mendapat durian runtuh" karena berarti ia
bisa melanjutkan gagasannya membentuk pasukan yang terdiri dari para pemuda
dari seluruh Indonesia.
Apa yang tersirat dalam benak Husain Mutahar akhirnya menjadi
kenyataan. Setelah tahun sebelumnya diadakan ujicoba, maka pada tahun 1968 dikembangkan
formasi pengibaran menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 17 (pengiring/pemandu), kelompok 8 (pembawa/inti), dan kelompok
45 (pengawal). Formasi ini merupakan simbol dari tanggal Proklamasi
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta dan
menjadi anggota Pandu/Pramuka. Adapun yang menjadi bagian dari kelompok 45,
semula direncanakan dari mahasiswa AKABRI. Karena kendala transportasi dan masa
libur perkuliahan, maka dibatalkan. Usul lain melibatkan anggota dari pasukan
khusus ABRI juga tidak mudah. Diambil dari Pasukan Pengawal Presiden yang mudah
dihubungi sekaligus posisi tugas yang memang ada di Istana Negara. Petugas
pengibar bendera pusaka mulai berasal dari para pemuda utusan dari provinsi.
Karena belum seluruh provinsi mengirim utusan sehingga ditambah dengan eks
anggota pasukan tahun 1967.
Selama enam tahun, 1967-1972, bendera pusaka dikibarkan oleh para
pemuda utusan daerah dengan sebutan PASUKAN
PENGGEREK BENDERA PUSAKA (PASREKRAKA)
Tahun 1967. Kekhasan konsep Latihan Pandu Indonesia ber-Pancasila adalah metode
diklat menggunakan sistem pendekatan Keluarga Bahagia yang diterapkan secara
nyata dalam Pendekatan Desa Bahagia. Nama, pada kurun waktu itu memang belum menjadi perhatian utama,
karena yang terpenting tujuan mengibarkan bendera pusaka oleh para pemuda
utusan daerah sudah menjadi kenyataan.
Dalam mempersiapkan Pasukan Penggerek Bendera Pusaka, Husein
Mutahar sebagai Dirjen Udaka (Urusan Pemuda dan Pramuka) tentu tak dapat
bekerja sendiri. Sejak akhir 1967, ia mendapatkan dukungan dari Drs. Idik Sulaeman
yang bertugas di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sebagai
Kepala Dinas Pengembangan dan Latihan. Idik yang terkenal memiliki karakter
kerja sangat rapi dan teliti, lalu mempersiapkan konsep pelatihan dengan
sempurna, baik dalam bidang fisik, mental, maupun spiritual. Latihan yang merupakan
derivasi dari konsep Kepanduan itu diberi nama ”Latihan Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila”.
TAHUN 1973
Pada
tahun 1973 Idik Sulaeman melontarkan
suatu gagas baru kepada H. Mutahar “Bagaimana
kalau pasukan pengibar bendera pusaka kita beri nama baru” katanya. Mutahar
yang tak lain mantan pembina penegak Idik di Gerakan Pramuka menganggukan
kepala. Maka, kemudian meluncurlah sebuh nama antik berbentuk akronim yang agak
sungkar diucapkan bagi orang yang pertama kali menyebutnya. Akronim itu adalah PASKIBRAKA, yang berupa singkatan dari
Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.”PAS”
berasal dari kata PASUKAN.”KIB”
dari kata KIBAR.”RA”dari
kata BENDERA,”KA”
dari kata PUSAKA. Idik yang sarjana senirupa lulusan Institut Teknologi Bandung
(ITB) itupun juga segera memainkan kelentikan tangannya dalam membuat sketsa.
Hasilnya, adalah berbagai atribut yang digunakan Paskibraka, mulai dari lambang
Anggota, lambang Korps, Kendit Kecakapan sampai Tanda Pengukuhan (Lencana
Merah-Putih Garuda/MPG). Nama Paskibraka dan atribut baru itulah yang dipakai
sejak 1973 sampai sekarang.
Sulitnya
menyebutkan akronim Paskibraka memang sempat mengakibatkan kesalahan ucap pada
sejumlah reporter televisi saat melaporkan secara langsung pengibaran bendera
pusaka setiap tanggal 17 agustus di Istana Merdeka. Bahkan, tak jarang wartawan
media cetak masih ada yang salah menuliskannya dalam berita, misalnya dengan
“Paskibrata”. Tapi bagi para anggota Paskibraka, Purna (mantan) Paskibraka
maupun orang-orang yang terlibat didalamnya, kata Paskibraka telah menjadi
sesuatu yang sakral dan penuh kebanggaannya.
TAHUN 2000
Memang
pernah, suatu kali nama Paskibraka akan diganti, bahkan pasukannya pun akan
silikuidasi. Itu terjadi pada tahun 2000 ketika Presiden Republik Indonesia
dijabat oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kata “PUSAKA” yang ada dalam akronim Paskibraka dianggap Gus Dur
mengandung makna “KLENIK”.
Untunglah, dengan perjuangan keras orang-orang yang berperan besar dalam
sejarah Paskibraka, akhirnya niat Gus Dur untuk melikuidasi Paskibraka dapat
dicegah, Apalagi Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1958 tentang Bendera
Kebangsaan Republik Indonesia, pada pasal 4 jelas-jelas menyebutkan :
(1) BENEDERA PUSAKA adalah Bendera Kebangsaan
yang digunakan pada upacara Proklamasi Kemedekaan di Jakarta pada tanggal 17
Agustus 1945.
(2)
BENDERA PUSAKA hanya dikibarkan pada
tanggal 17 Agustus.
(3) Ketentuan-ketentuan pada pasal 22 tidak
berlaku bagi BENDERA PUSAKA. (Pasal 22: Apabila Bendera Kebangsaan dalam
keadaan sedemikian rupa, sehingga tak layak untuk dikibarkan lagi, maka bendera
itu harus dihancurkan dengan mengingat kedudukannya, atau dibakar).
Itu berarti, bila Presiden ngotot
mengubah nama Paskibraka, berarti dia melanggar PP No.40 Tahun 1958. Presiden
akhirnya tidak jadi membubarkan Paskibraka, tetapi meminta namanya diganti
menjadi “Pasukan Pengibar Bendera Merah
Putih” saja. Hal ini diiyakan saja, tapi dalam siaran telivisi dan
pemberitaan media massa, nama pasukan tak pernah diganti. Paskibraka yang telah
menjalani kurun sejarah 32 tahun tetap seperti apa adanya, sampai akhirnya Gus
Dur sendiri dilengserkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar