Sejarah Bendera Merah Putih

“ Berkibarlah benderaku, lambang suci gagah perwira, di seluruh pantai Indonesia, kau tetap pujaan bangsa, siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela …….Sang Merah-Putih yang perwira, berkibarlah selama-lamanya ”.
 
Lagu diatas diciptakan oleh Ibu Soed tentang bendera Merah-Putih, bendera Indonesia. Bendera Merah-Putih ? Sebenarnya hanya terdiri atas dua potong kain saja yang terdiri dari warna Merah berada diatas dan warna Putih berada dibawah yang kemudian dijahit menjadi satu. Namun kedua potong kain inilah yang menjadi lambang kebesaran bangsa Indonesia, ciri khas Indonesia, serta menjadi lambang kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku yang Bhinneka Tunggal Ika.

            Sang Merah-Putih selalu berkibar dan disambut dengan sangat syahdu dan penuh perasaan hormat pada setiap hari Nasional maupun hari-hari kemenangan dalam bidang prestasi, serta upacara lainnya. Bendera kebangsaan bukan hanya sebagai lambang ataupun ciri khas bangsa Indonesia, tetapi dari pada itu Sang Merah-Putih telah menjadi bagian dari bagian setiap insan Indonesia. Dia telah mendarah daging, menjadi sumsum yang mengalir selamanya dalam diri rakyat Indonesia.

            Dua potong kain Dwi warna yang kita kenal sekarang sebagai Bendera kebangsaan Bangsa Indonesia ini telah di kukuhkan sebagai lambang kebesaran bangsa Indonesia melalui Pasal 35 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Bendera kebangsaan Indonesia adalah Sang Merah-Putih, serta Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958 tentang Peraturan Bendera Kebangsaan Republik Indonesia. Merah yang bermakna berani karena benar dan Putih yang bermakna suci. Pengorbanan yang besar telah ditorehkan rakyat Indonesia untuk Sang Merah-Putih ! Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah kebangsaan sejak 17 Agustus 1945 Sang Merah-Putih berkibar diseluruh tanah air dan tanggal 29 September 1950 berkibar di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

            Berdasarkan kajian seorang sejarahwan Prof. H. Muhammad Yamin, jejak sejarah Merah-Putih di mulai sejak 6.000 tahun yang lalu, di mana bukti sejarah menunjukkan bahwa nenek moyang kita telah melakukan pemujaan terhadap Matahari dan Bulan. Matahari di wakili warna Merah, dan Bulan di lambangkan dengan warna Putih.

            Kajian Prof. H. Muhammad Yamin menunjukkan cukup banyak bukti untuk membuktikan teorinya. Bila teorinya tentang pemujaan Matahari dan Rembulan yang kemudian menciptakan derivate warna Merah dan Putih sejak 6.000 tahun yang lalu merupakan teori yang universal, setidaknya beliau mempunyai bukti yang membumi mengenai kehadiran Merah-Putih di bumi Indonesia.
            Adanya ukiran pada dinding Candi Borobudur (dibangun pada awal abad ke- 9) menjadi salah-satu bukti awal beliau, di mana pada ukiran tersebut menggambarkan tiga orang hulubalang membawa umbul-umbul berwarna gelap dan terang, di duga melambangkan warna Merah dan Putih. Keterangan untuk ukiran itu menyebutnya sebagai Pataka atau Bendera. Catatan-catatan lain sekitar Borobudur juga sering menyebut bunga Tunjung Mabang (Merah) dan Tunjung Maputeh (Putih). Ukiran yang sama juga tampak di Candi Mendut, tidak jauh Candi Borobudur, yang kurang lebih bertarikh sama.

            Dari bukti ukiran Candi Borobudur ini, Prof. H. Muhammad Yamin dengan rajin mengumpulkan banyak bukti sejarah lain yang dapat di kaitkan dengan pemujaan terhadap lambang, warna Merah dan Putih di setiap celah budaya Nusantara. Di bekas kerajaan Sriwijaya tampak pula berbagai peninggalan dengan unsur-unsur warna Merah dan Putih.
Antonio Pigafetta, seorang pencatat dalam pelayaran Marcopolo di abad 16, dalam kamus kecilnya yang berisi 426 kata-kata Indonesia, memasukan entri Cain Mera dan Cain Pute, yang di terjemahkan sebagai Al Panno Rosso et Al Panno Bianco. Bila tidak sering melihat kombinasi Merah-Putih sebagai satu kesatuan, mungkinkah Pigafetta memasukkannya sebagai sebuah entri ?
   
Empat warna utama dalam mitologi jawa, yakni Merah sebagai lambang amarah, Putih sebagai lambang Mutmainnah, Kuning sebagai lambang Supiah, dan Hitam sebagai lambang Luwainnah. Dua keraton di Solo, misalnya menggunakan lambang-lambang warna itu sebagai benderanya. Keraton Susuhunan Paku Buwono memakai symbol Timur – Selatan yang di lambangkan dengan warna Gula-Kelapa atau Merah-Putih. Sedangkan Keraton Mangku Negoro memakai symbol Barat-Utara yang dilambangkan dengan warna Hijau-Kuning. Getaran warna Hijau sama dengan warna Hitam lambang Luwainnah.
            Warna Merah dan Putih tidak hanya di pakai sebagai lambang penting oleh kerajaan Mataram. Pada abad ke-16, dua bilah cincin berpermata Merah dan Putih di wariskan oleh Raja Majapahit kepada Ratu Jepara yang bernama Kalinyamat. Di kerajaan Mataran sendiri, umbul-umbul Gula-Kelapa yang berwana Merah-Putih di wariskan oleh Ki Ageng Tarub dan terus di muliakan oleh Sultan Agung serta Raja-Raja yang meneruskannya.
            Perlawanan rakyat yang di pimpin oleh Pangeran Diponegoro pada abad ke-19 di mulai dengan barisan rakyat yang mengibarkan umbul-umbul Merah-Putih berkibar di mana-mana. Rakyat berkeyakinan bahwa Merah-Putih adalah pelindung mereka dari segala marabahaya. Pada abad ke-19 itu pula, para pemimpin dan pengikut gerakkan Paderi di Sumatera Barat banyak yang mengenakan sorban berwarna Merah dengan jubah berwarna Putih, untuk menandai gerakan perlawanan kaum Paderi terhadap Belanda.

            Menurut catatan Prof. H. Muhammad Yamin di Sulawesi Selatan Raja Bone yang bernama Karrampeluwa pada abad ke-15 juga sudah mengibarkan umbul-umbul berwarna Merah dan Putih di kiri kanannya. Umbul-umbul Merah dan Putih itu di sebut sebagai Tjallae ri dan Tjallae ri abeo.

            Pada tahun 1920 di Negeri Belanda Bendera Merah-Putih di kibarkan oleh Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging) untuk menyatakan cita-cita Indonesia Merdeka. Secara sederhana ketika itu dinyatakan bahwa Merah berarti berani, sedang Putih melambangkan kesucian. Artinya keberanian di atas kesucian.
            Partai Nasional Indonesia yang di dirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1927 juga menggunakan lambang bendera Merah-Putih dan gambar kepala banteng ditengahnya. Sebelumnya, bendera Merah-Putih dengan gambar kepala kerbau pernah pula di pakai oleh Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda tahun 1922, seperti terlihat pada salah satu dokumen yang di simpan oleh Dr. Mohammad Hatta.
            Tidak heran bila pada tanggal 28 Oktober 1928 bendera Merah-Putih di kibarakan oleh para pemuda sebagai Bendera Kebangsaan. Semula bendera Merah-Putih di rencanakan akan memakai gambar Garuda Rajawali terbang di tengahnya. Tetapi, kemudian di putuskan untuk memakai lambang burung Garuda Rajawali itu secara terpisah. Kelak lambang burung Garuda Rajawali inipun di bakukan sebagai lambang Negara, lengkap dengan Amsal Tantular yang tertera pada pita di cengkraman Garuda yang berbunyi : Bhinneka Tunggal Ika.
            Di penghujung bulan Desember 1941 para pemuka kebangsaan di daerah Gorontalo Sulawesi, berniat mengadakan kongres, namun berhubung tersiar berita besar dari radio dan surat kabar mengenai bala tentara Jepang telah menghancurkan pangkalan Amerika di Pearl Harbour wilayah Amerika Serikat. Di sinilah awal dari lembaran hitam kawasan asia dengan meletusnya perang dunia ke- II.
            Suasana keruh yang di timbulkan dari serangan tentara Jepang tesebut juga berimbas ketanah air, di karenakan Indonesia adalah tanah jajahan Belanda. Begitu pula yang terjadi di Sulawesi Utara tidak luput dari suasana keruh tersebut. Pada tanggal 10 Januari 1942 bertempat di Minahasa balatentara Jepang telah mendarat, namun sebelum tentara Jepang berhasil menerobos daerah Gorontalo, pada tanggal 23 Januari 1942, para pemuka setempat telah memproklamirkan kemerdekaan. Rakyat Indonesia telah bangkit di Sulawesi Utara! Sang Merah-Putih berkibar, rakyat bergembira, Lagu kebangsaan Indonesia Raya mengalun setiap hari dengan kerasnya. Setiap rumah maupun kantor pemerintah mengibarkan Sang Dwiwarna. Akibat dari perebutan kekuasaan yang diprakarsai oleh tokoh setempatya yakni Kusno Dhanupoyo dan Nani Wartabone, maka di daerah lain di Sulawesi terjadi serentetan perebutan kekuasaan lainnya. Hari itu berkumandanglah lagu Kebangsaan Indonesia Raya di bawah pimpinan Nani Wartabone di alun-alun. Suaranya parau yang disebabkan oleh tangis haru. Kemerdekaan yang selama ini dirindukan oleh bangsa Indonesia, ternyata telah dapat dirasakan oleh mereka yang berada di Gorontalo.
            Pada bulan Pebruari 1942 sepuluh hari setelah pendaratan tentara Jepang di Sulawesi Selatan di tepi kota Sungguminahasa, seorang anak mengibarkan Dwiwarna berdampingan dengan bendera Jepang.


            Masyarakat setempat tertegun melihat ada dua bendera kecil yang berkibar di sebuah tiang bambu yang sederhana dengan tali rami sepanjang satu setengan meter. Bendera apakah itu ? Tanya orang-orang yang melihat bendera kecil tersebut . Pengibar cilik yang saat itu baru berumur tujuh tahun menjawab dengan bangga : “ Oh Merah-Putih itu bendera kita, Indonesia ! Yang pakai bola merah itu Bendera Jepang” mereka yang menyaksikan masih belum percaya sampai ayah anak itu berujar : ”benarlah kata anak saya ini, saudara-saudara. Yang disebelah itu bendera sendiri! Belanda melarang kita mengibarkan, selain Bendera Merah, Putih, Biru ! Tetapi sekarang kita boleh mengibarkannya kembali ……… “ Dan penduduk kampung yang terpencil jauh dari Kota Ujungpandang (Makasar) itu merasa gembira. Pada hari itu setiap rumah penduduk mengibarkan Merah-Putih dari kertas minyak.

            Tetapi rasa gembira itu tidak berlangsung lama, seminggu kemudian muncul sebuah mobil hitam berpenumpang seorang opsir Jepang dari Angkatan Laut Kerajaan Jepang bernama Kolonel Yamagata, tujuan Yamagata datang adalah memerintah ayah dari anak tadi untuk segera kembali bekerja sebagai dokter di Makasar.

            Siapa berani melawan perintah penguasa Jepang? Mata Yamagata semakin menyipit dengan dahi berkerut tatkala hendak meninggalkan rumah di pengungsian, matanya menatap dua bendera yang berkibar “Siapa yang mengibarkan Merah-Putih ini”?, “Saya tuan” teriak anak itu gembira.”Sekarang tarik lepas Merah-Putih itu, Cuma Hinomaru yang boleh berkibar”, ujar Yamagata dengan kasar. Anak tersebut menarik tali rami dengan keras sehingga Merah-Putih melayang dan jatuh di comberan dekat mulut perigi. Merah-Putih menjadi kotor dan berlumpur sehingga tangis anak tersebut meledak. Kolonel Yamagata mendengus pergi, dekat perigi dia berhenti, serta menginjak kain Merah-Putih dengan sepatu bootnya. Kain Dwiwarna tersebut tidak berwarna lagi kecuali berwarna Hitam legam. Anak itu tidak main sakit hati melihat tersebut, puluhan pasang mata juga ikut merasa sakit hati dan menangis. Dalam sakit hati inilah, anak tersebut menghujam tiang bendera satunya, sehingga Hinomaru jatuh ke tanah, lalu dinjak-injaknya sampai lumat. Sejak saat itu tidak satu pun Merah-Putih berkibar di rumah-rumah penduduk, namun kejadian tersebut telah menumbuhkan semangat kebangsaan dalam dada setiap orang. Anak kecil itu terus tumbuh dan dia adalah Purnawan Tjondronegoro.

            Pada tanggal 14 Pebruari 1945 meletuslah pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air)  di Blitar. Di bawah pimpinan Shodancho Supriyadi dan Shodancho Muradi. Pada jam 3 pagi, setelah amunisi dibagikan Supriyadi mulai memberikan komandonya agar setiap prajurit mulai menembakkan sasarannya ketempat serdadu dan opsir Jepang tinggal, maka terjadilah pertempuran di pagi buta itu dengan hebatnya.

            Seorang Prajurit PETA berpangkat Shodancho bernama Parto Harjono berhasil mengibarkan Bendera Merah-Putih ketiang bendera di dalam halaman Daidan. Sang dwiwarna itu berkibar megah, menggantikan si bola merah Hinomaru, bendera Jepang yang setiap hari berkibar diatas tiang itu. Di bawah lambaian Merah-Putih inilah, para pemuda Indonesia yang terdiri dari Prajurit PETA menyerang kedudukan Jepang, terdengar teriak serta hiruk pikuk aba-aba dalam bahasa Jepang yang dikumandangkan dari mulut Shodancho Supriyadi dan Muradi serta beberapa opsir PETA lainnya. Hari itu tercatat sebuah kegagahan luar biasa yang lahir dari para prajurit PETA di Blitar karena membela kebenaran dan kemerdekaan.   

“Janji” Jepang untuk memerdekakan Indonesia yang di nyatakan sejak bulan September 1944, ternyata hanya janji palsu, sehingga titik puncak perjuang bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan terjadi pada pertengahan tahun 1945, Bung Karno yang sejak semula memang tidak sepenuhnya mempercayai Jepang, tetap berusaha mempertahankan koridor kewaspadaan dan pengamanan secara hati-hati agar tidak membuat Jepang curiga, serta tetap menjalankan perannya sebagai ketua PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang memang di fasilitasi Jepang berupa gedung di jalan Pejambon Jakarta Pusat untuk mengadakan pertemuan.

Sebagian pemuda pejuang yang tidak memahami jalan pikiran Bung Karno, sejak tanggal 14 Agustus 1945 memberi tekanan kepada beliau untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia setelah mendengar berita kekalahan Jepang yang mulai tercium di Jakarta pada minggu kedua bulan Agustus 1945. Namun, alasan yang paling utama adalah agar jangan sampai di dahului pasukan sekutu untuk melucuti senjata Jepang dan mengambil alih kekuasaan.

Pada tanggal 16 Agustus 1945, beberapa pemuda mendatangi Bung Karno dan kemudian membawa pergi ke Rengasdengklok. Ibu Fatmawati dan Guntur yang masih bayi juga di bawa serta. Beragam opini keluar atas kejadian tersebut, menurut biografi Bung Karno yang di tulis oleh Cindy Adams, peristiwa ini di sebut sebaga penculikan oleh para pemuda revolusioner, sedangkan ibu Fatmawati menyebut hal ini sebagai hijrah. Adam Malik mengistilahkan” Bung Karno dan Bung Hatta di singkirkan ke Rengasdeklok”. Tetapi bagi para pemuda, tindakkan itu dilakukan agar Bung Karno terbebas dari tekanan politik dan memahami realitas perjuangan serta segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Kejadian ini terjadi di sebabkan oleh sikap Bung Karno yang tetap memilih jalan negoisasi yang selama ini telah di rintisnya bersama pemimpin bangsa.

Sukarni, salah seorang pemuda yang ikut menjemput Bung Karno, ia adalah seorang yang dianggap misterius, bila mengusulkan sesuatu selalu tampak tergesa-gesa, dan agak memaksa agar usulanya diterima, ia juga kurang memikirkan persiapan untuk tindakan-tindakannya. Bung Karno dibawa ke Rengasdengklok sebuah desa di dekat Karawang.

Di Rengasdengklok, Bung Karno dan Bung Hatta di tempatkan di Rumah Djiauw Kie Siong yang di pinjam oleh para pemuda, tidak jauh dari Markas PETA. Rumah itu hampir tidak terlihat karena terlindung oleh pohon-pohon besar, dan terletak persis disisi sungai Citarum.

Di luar para pemuda telah meminta Wedana menyiapkan upacara di halaman, dan mengumpulkan rakyat di depan Markas PETA. Upacara yang di persiapkan para pemuda itu digelar untuk menjadi panggung Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Siang harinya dilakukan upacara pengibaran bendera Merah-Putih, di pimpin oleh Wedana Soedjono. Tetapi, karena upacara itu hanya di hadiri oleh sedikit orang, para pemuda mengajak rakyat berjalan menuju alun-alun di depan kawedanaan. Masyarakat yang berkumpul di alun-alun menjadi lebih banyak di pimpin oleh Soeradji, Komandan PETA, bendera Merah-Putih dikibarkan di sana sekali lagi.

Para pemuda bermaksud “menahan” Bung Karno di Rengasdengklok malam itu “penahanan” itu hendak dilakukan karena Bung Karno tetap tidak bersedia memproklamasikan kemerdekaan di Rengasdengklok.

Apabila hal itu terjadi, sejarah Indonesia barangkali akan mencatat hal lain, di sinilah peran Ibu Fatmawati harus di perhitungkan dalam sejarah perjuangan. Beliau menunjukan kondisi bayi Guntur yang sudah tampak lelah. Dengan tutur lembut dan halus, Ibu Fatmawati meminta pengertian pemuda pejuang untuk mengizinkan mereka kembali ke Jakarta malam hari itu juga.

Pada saat tiba kembali di Jakarta, lewat tengah malam Bung Karno mengundang pertemuan di rumah laksamana Maeda, Panglima Besar Angkatan Laut Jepang di Jawa. Sebelumnya Bung Karno, Bung Hatta dan Laksamana Maeda telah mengadakan pertemuan dengan Jenderal Yamamoto, Kepala Pemerintah Militer Jepang.

Pada pertemuan dini hari di rumah Maeda tersebut, naskah proklamasi dirumuskan. Beberapa anggota PPKI hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain. Mr. Achmad Soebarjo Radjiman, Dr Sam Ratulangi, Prof Soepomo, Mr Latuharharry, Dr Boentaran, Mr Iwa Kusumasumantri, sedangkan dari pemuda hadir antara lain, Chaerul Saleh, BM Diah, dan Sukarni.

Bung Karno sudah menyiapkan naskah ringkas yang ditulis tangan. Terjadi perdebatan seru, ada yang mengatakan naskah itu tidak revolusioner. Adapula yang mengatakan bahwa pernyataan itu sangat abstrak dan tidak ada isinya.

Mengingat bahwa pekerjaan ini harus selesai sebelum fajar menyingsing. Mereka kemudian menyepakati naskah yang diusulkan Bung Karno dengan beberapa perubahan ringan. Naskah tersebut lalu diketik oleh Sajuti Melik, seorang pemuda pejuang yang baru saja di bebaskan oleh kempetai dari tahanan di Semarang. Sajuti pada saat itu adalah suami dari SK Trimurti. Nama Melik hanyalah panggilan, karena ketika itu ada dua yang bernama Sajuti. Untuk membedakan, satu di panggil Sajuti Melok, yang lain Sajuti Melik.

Suasana malam menegangkan tampak di beberapa tempat di Jakarta, dimana para pemuda pejuang sedang berkumpul. Mereka semua seperti merasakan Ibu Pertiwi sedang hamil tua. Kelahiran Republik Indonesia sudah semakin dekat. Di Kramat, Kebon Sirih, Cikini, dan di tempat-tempat lain, para pemuda pejuang berkumpul dan bersiap. Merdeka atau Mati!

Keesokan paginya, 17 Agustus 1945, beberapa pemimpin Bangsa Indonesia berkumpul di rumah Bung Karno. Tidak salah lagi! Bung Karno sebagai pemimpin Bangsa Indonesia akan menyatakan kedunia luas bahwa Republik Indonesia telah lahir. Bangsa Indonesia telah Merdeka!

Ia bergabung dengan tamu-tamunya, mengenakan setelan jas putih dari bahan drill dan mengenakan peci. Bung Hatta pun mengenakan setelan jas serupa, tanpa peci. SK Trimurti yang hadir disitu, diminta untuk ikut mengibarkan bendera sebagai representasi perempuan dalam perjuangan Bangsa. Akan tetapi dia menolak karena tidak cukup berjasa untuk memperoleh kehormatan tersebut. Ia hanya membawa bendera yang masih terlipat untuk diserahkan kepada pengibar bendera, setelah itu beliau berdiri disamping Ibu Fatmawati.

Bendera Merah-Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati kemudian diikatkan ke tali pengerek. Tiang bambu dihalaman rumah Jalan Pegangsaan Timur 56 kini Jalan Proklamasi No. 56 itu sebetulnya terlalu pendek untuk bendera yang berukuran 2x3 meter itu. Pemuda Suhud lalu memegang bendera tersebut, lalu dikerek oleh Pemuda Latief  Hendraningrat yang berseragam PETA.

Semua yang hadir mengiringi kibaran Merah-Putih dengan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Tak ada yang memimpin lagu, sehingga suara yang dihasilkan terdengar sumbang. Suara sumbang juga disebabkan emosi yang meluap dari para hadirin.

Semua terhenyak memandang Merah-Putih telah berkibar gagah dipuncak tiang bambu. Dalam suasana yang mencekam itu, tepat pukul 10 pagi. Bung Karno mengeluarkan secarik kertas yang terlipat dari saku jasnya, dan kemudian membaca naskah pendek yang telah diketik dan dibubuhi beberapa coretan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar